Sabtu, 19 Oktober 2013

Faith

Di suatu pagi, saya membaca blog seorang teman dalam lingkaran saya yang di-posting-nya di salah satu social media. Beginilah cerita yang saya kutip.
” Lima belas tahun lalu, saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal, dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya, dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya, tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali sampai dia menyerah. Rupanya, karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf, Bapak dari mana?”. “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik disini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya. “Saya sudah dua puluh tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun, untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. 

Di lain kesempatan, teman kuliah saya mengajar di suatu lembaga privat. Dia ditugaskan mengajar anak kelas 1 SD. Di hari pertama bersilaturrahim dengan orangtua calon anak didiknya, orangtua tersebut berkata pada teman saya tentang harapan-harapan yang ia inginkan pada anaknya setelah mengikuti privat. Ternyata, masalahnya itu pada waktu yang dibutuhkan anak pada saat berhitung, dalam hal ini yakni mata pelajaran Matematika. Sebenarnya, anak berumur tujuh tahun dikatakan sangat hebat jika sudah bisa menghitung dan menulis jawaban dengan benar dan cara yang tepat. Akan tetapi, keinginan orangtua pada anak itu, jika misalkan si anak disuguhkan angka-angka dan diperintahkan untuk mengerjakan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan, harus bisa mengerjakan cepat dan harus bisa menampung dalam ingatan bahwa apa yang disampaikan oleh guru harus langsung menempel di otak. Singkat cerita, teman saya tak lagi mengajar setelah orangtua anak didiknya menyampaikan bahwa tidak terlihat peningkatan kecepatan menghitung yang dimiliki anak tersebut, padahal baru dua kali pertemuan, tepatnya 180 menit belajar.

Panik
Seandainya kejadian itu sedang Anda hadapi, apa yang akan Anda lakukan? Kalau saya? Sudah saya batalkan kontrak belajar dengan anak itu jika menurut orangtuanya tidak sesuai. Saya jelaskan metode pembelajaran terbaik dalam pendidikan yang sebenarnya yang dipakai di sekolah ataupun lembaga privat. Karena dalam membuat keputusan, saya yakin itulah yang terbaik, termasuk memilih lembaga privat mana yang dipilihkan untuk anak, begitu juga sekolah dengan standar apa di Amerika yang dipilihkan untuk anak. Jadi, jika menurut pihaknya tidak sesuai ya silakan cari tempat lain. Apalagi orang macam saya ini semua harus terkontrol, semua harus dalam aturan main yang benar. Semua harus sesuai prosedur, semua harus begini, semua harus begitu. Maka seringkali saya mati mendadak karena saya ini jauh dari fleksibel.

Menggerutu dan mempertanyakan sebuah keadaan adalah ciri khas hidup saya. Mengapa dia kok gitu, mengapa kok harus begini. Mengapa saya yang harus mengalami ini, apalagi kalau peristiwanya datang tapi salah alamat. Seperti beberapa bulan yang lalu, saya pernah di-damprat oleh senior dalam organisasi kampus yang saya ikuti agar saya harus amanah terhadap apa yang seharusnya saya sampaikan.

Saya kesal, jengkel, ingin marah, saya tidak pernah dititipi surat dari senat fakultas yang dimaksud, secara logika pun, saya sudah jelas berbeda fakultas dan tidak kenal dengan senat fakultas yang mengirim surat untuk organisasi yang saya ikuti. Dugaan senior yang memperkuat itu adalah pada laporan ekspedisi surat, tertanda bahwa yang menerima surat itu dengan nama depan yang sama dengan nama saya. Peristiwa itu membuat saya bertanya mengapa hal itu harus menimpa saya, sehingga jadwal kuliah dan mentoring saya porak-poranda. Kejadian semacam itu sudah berjuta kali terjadi, tapi toh selalu saja saya naik pitam. Sehingga saya sendiri sering kewalahan dan kelelahan oleh sifat saya yang tidak fleksibel.

Belum lagi saya ini didukung dengan sifat buruk lainnya, yaitu melihat sesuatu, mendiskusikan sesuatu dengan menggunakan kacamata negatif. Jadi, sudahlah tidak fleksibel, negatif pula.

Maka, kalau kembali pada kejadian di atas, dengan kepribadian saya seperti itu saya akan panik setengah mati. Jadi, sebelum saya mati beneran, dan daripada saya diserang rasa panik, saya akan mengambil keputusan untuk menyerahkan anak kepada orangtuanya. Karena tidak fleksibel, maka acapkali keputusan yang saya buat hanya memiliki satu tujuan yaitu melindungi saya dari kekecewaan, dari kegagalan, dari porak-poranda hati saya. Intinya, saya cari aman sebelum kemarahan akan meledak lebih dahsyat dari sebelumnya.

Skenario 
Kalau menganbil contoh soal metode pembelajaran di atas, saya pun tahu bahwa saya tak memiliki kuasa untuk merayu para orangtua yang sudah jelas memiliki hak penuh atas pendidikan anaknya untuk bersabar dan mengerti kondisi psikologis anaknya. Saya tahu bahwa dunia luar tidak bisa saya kontrol, tetapi susah sekali rasanya untuk menerima keadaan itu.

Kekecewaan yang seringkali saya rasakan juga datang karena saya senang sekali berkhayal dan membuat skrip atas semua planning yang saya susun. Jika skrip tersebut tidak sesuai dengan yang terjadi saat itu, saya jengkelnya setengah mati. Misalnya, ketika saya berencana pergi bersama teman ke rumah robotika untuk belajar membuat robot. Maka sebelum peristiwa itu terjadi, saya sudah membayangkan dari awal perjalanan menuju kesana, akan begini, akan begitu, terlebih dahulu ini, itu, dan seterusnya. Akan tetapi, jika nanti dalam kenyataannya peristiwa yang berjalan tidak sesuai dengan skrip yang saya kehendaki, saya mulai naik pitam.

Anda pikir saya naik pitam ke teman saya? Salah besar. Saya kesal dengan diri sendiri, karena saya tahu bahwa saya tidak berkuasa menjadi sutradara kehidupan ini, apalagi kehidupan orang lain dan kehidupan yang akan datang. Saya selalu mengharap orang lain atau kejadian itu sesuai dengan skenario yang saya buat. Terkadang skenario saya tidak baik, buat saya nggak masalah, asal tereksekusi. Hidup saya selalu begitu.

Kalau ingin memiliki hubungan asmara, saya juga membuat skenario supaya pasangan dapat melakukan apa yang saya mau. Anehnya, semakin saya tahu bahwa a scripted love affair itu tidak benar, semakin saya berbuat kekeliruan itu. Saya tak bisa menerima kalau pasangan saya diam saja ketika saya mengirim pesan I miss you. Atau saya tidak bisa menerima kalau saya mengirim emoticon hug, saya tak menerima balasan apapun. Skrip saya gagal, saya merasa limbung dan tidak bernilai.

Beberapa hari lalu, saya bertanya pada diri sendiri mengapa hal itu terjadi. Mungkin faktor utamanya adalah saya tidak memiliki faith, keyakinan tentang apa yang saya jalani, tentang apa yang sudah saya terima, tentang apa yang saya cintai. Faith itu yang mendukung I set my partner free. I set myself free. Karena semakin saya genggam dan tak membiarkannya free, hal itu semakin menunjukkan kalau saya tidak memiliki keyakinan tentang apa yang saya jalani.

Begitu saya kehilangan faith, saya kehilangan segalanya. Kalau sudah merasa kehilangan dengan mudahnya saya protes pada Sang Khalik, padahal yang salah itu saya. Tanpa faith saya bisa jadi “buta”, tidak bisa melihat kalau saya yang salah, bukan orang lain. Tanpa faith, saya akan limbung, ngomel, protes, dan bukan malah memperjuangkan sebuah kehidupan dengan hati legowo.

Nurani saya berbisik. “Elo tahu kenapa hidup elo sungguh menyedihkan? Karena elo mau orang berubah untuk elo, tetapi elo  mau orang menerima kalau elo sendiri enggak mau berubah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar